Posted by : Unknown Minggu, 22 Desember 2013

Pendidikan Luar Sekolah (PLS) atau Pendidikan Non Formal (PNF) memiliki peran yang sangat penting dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, terutama dalam membantu menangani permasalahan yang dihadapi oleh bagian terbesar  masyarakat  yang kurang beruntung (disadvantage groups) yang disebabkan oleh kemiskinan, pengangguran, tidak terampil, buta aksara, anak usia dini, ketidaksetaraan gender, dan sejenisnya. Semua itu telah dijadikan barometer kemajuan bangsa dalam berbagai program insiatif dalam lingkup global, seperti: Human Development Index (HDI), Education for All (EFA), Millenium Development Goal (MDG), Education for Sustainable Development (ESD), Literacy Intensive for Empowerment (LIFE), dan program-program insiatif UNESCO lainnya.  Dalam banyak hal, program-program PNF telah menjadi faktor inti yang sangat menentukan terhadap ukuran keberhasilan dalam program-program insiatif UNESCO tersebut.

Kebijakan pembangunan Kementrian pendidikan nasional diarahkan untuk mewujudkan pendidikan yang berkeadilan, bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dalam penyelenggaraan pendidikan nasional bertumpu pada 5 prinsip; 1) Ketersediaan berbagai program layanan pendidikan; 2) Biaya pendidikan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat; 3) Semakin berkualitasnya setiap jenis dan jenjang pendidikan; 4) Tanpa adanya perbedaan layanan pendidikan ditinjau dari berbagai segi; dan 5) Jaminan lulusan untuk melanjutkan dan keselarasan dengan dunia kerja.
Selain itu Direkatorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal merintis program Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM). Misi dan tujuan dari pendidikan  ini adalah memberikan bekal pendidikan yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat sehingga setiap lulusan pendidikan nonformal dapat masuk di dunia kerja dan atau menciptakan lapangan kerja baru, menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang kreatif dan inovatif sehingga mampu memberdayakan potensi lokal untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Atas dasar pertimbangan tersebut, ada beberapa permasalahan yang telah menghambat para lulusan PLS dalam memberikan pelayanan bidang PNF, baik program-program professional yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab masyarakat, program-program insiatif Pemerintah, maupun program-program inisiatif internasional. Permasalahan yang paling tampak yaitu sarjana program studi PLS tidak sepenuhnya diorientasikan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan itu berlaku bagi semua program studi baik kependidikian maupun non-kependidikan. Dalam kenyataan, masih banyak institusi PNFI yang membutuhkan PNS yang membidangi PLS untuk menangani program-program PLS milik pemerintah, seperti Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) tingkat Kabupaten/Kota (350 lembaga), Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) tingkat provinsi (33 lembaga), Kabid atau Kasubdin PLS tingkat kabupaten/kota dan provinsi (500 lembaga), BP-PNFI (6 lembaga), P2PNFI (2 lembaga), penilik (5000 lembaga), serta pekerja lapangan yang selama ini telah bekerja untuk pelayanan PNF (5000 orang). Namun, dalam beberapa tahun terakhir para lulusan Sarjana Progran Studi PLS seolah tidak memiliki peluang untuk diangkat menjadi CPNS karena formasinya tidak disediakan oleh Pemerintah (setidaknya yang dikatakan oleh beberapa Badan Kepegawaian Daerah atau BKD Kab/Kota).
Yang menjadi keprihatinan, peluang untuk menjadi CPNS di berbagai institusi PNFI milik pemerintah tersebut justru diisi oleh sarjana non-PLS, sedangkan kesempatan sarjana PLS untuk  menjadi guru/pamong belajar seolah tertutup. Bapak Menteri yang terhormat, mungkin inilah yang sering disebut dengan gejala irrelevansi pendidikan yang sengaja diciptakan (a by designed irrelevant education).
Terdorong oleh kebijakan Menteri Pendidikan Nasional yang ingin meningkatkan kesesuaian pendidikan dengan pekerjaan, maka Jabatan-jabatan fungsional PLS yang diisi oleh lulusan program studi lain justru menjadi kontra produktif dengan kebijakan Bapak tersebut. Masalah ini benar-benar terjadi di lapangan; jabatan struktural, seperti eselon IV, III, penilik PLS, serta Pamong belajar jabatan fungsional lainnya justru sebagian besar diisi oleh lulusan sarjana di luar bidang  PNFI, misalnya, jabatan penilik PLS dan Pamong Belajar sebagai PNS pada Pendidikan Non Formal dan Informal justru sebagian besar dipegang oleh oleh tenaga pendidik guru sekolah formal. Padahal para lulusan Program Studi PLS secara by design dibentuk untuk memiliki kualifikasi yang sesuai dengan persyaratan jabatan yang dimaksud.
Masih ada BKD Kabupaten/Kota/Provinsi yang mempermasalahkan Program Studi PLS di perguruan tinggi dengan menolak sarjana program studi PLS mendaftar untuk menjadi CPNS dengan dalih tidak ada formasi, padahal formasi itu lahir dari usulan dinas pendidikan atau SKPD Kabupaten/Kota. Hal ini sangat menyakitkan dan mengusik rasa kemanusiaan dan jika keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, bukan hanya telah menghambat pelayanan pendidikan bagi penduduk yang kurang beruntung, tetapi juga tidak sejalan dengan kebijakan Mendiknas yang telah memberikan perhatian yang sama untuk setiap jalur pendidikan karena setiap jalur pendidikan memang bekerja pada segmen masyarakat yang berlainan dan belum terpayungi oleh UU Guru dan Dosen no 14 tahun 2005, UU sisdiknas No 20 tahun 2003. Serta PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.  Hal ini paradoks dengan “menghilangnya” formasi PNS untuk sarjana program studi PLS yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini. Kami menghawatirkan akan adanya sebuah upaya sistematis terhadap “pengerdilan” profesi PLS dalam waktu yang mungkin tidak akan lama lagi.
Hal yang perlu diperhatikan bahwa setiap tahun 26 universitas di Indonesia memproduksi lulusan S1 PLS yang diharapkan mampu untuk melayani dan menyelenggarakan PNF. Hal ini layak untuk diberikan perhatian melihat keadaan yang terjadi dilapangan apakah lulusan PLS bekerja sesuai dengan kompetensinya atau terabaikan begitu saja dan beralih PROFESI karena kebutuhan hidup. Dalam pandangan yang sempit timbul pertanyaan yang cukup menyiksa para penggemar dunia PLS “apakah pls harus dihapus karena sudah tidak dibutuhkan?”
            Dari semua permasalahan yang telah dipaparkan, kami IMADIKLUS indonesia terdorong untuk melakukan penelitian mengenai penelusuran lulusan S1 PLS dengan kesesuaian kompetensi dalam dunia kerja
1.       KERANGKA TEORITIS
1.1 KOMPETENSI LULUSAN S1 PLS
Kompetensi lulusan S1 PLS sangat lah beragam dan setiap universitas di Indonesia yang memproduksi lulusan S1 PLS memiliki visi dan misi yang berbeda tetapi secara umum tetaplah sama. Untuk itu secara umum akan dipaparkan salah satu kompetensi Lulusan S1 PLS dari UNTIRTA banten sebagai gambaran umum kompetensi lulusan S1 PLS, yaitu sebagai berikut:
. Visi, Misi dan Tujuan
  • Menghasilkan lulusan Pendidikan Luar Sekolah FKIP UNTIRTA yang berkualitas, ber-etika, berakhlak mulia dan berkompetitif.
  • Menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam keilmuan Pendidikan Luar Sekolah yang berbasis Masyarakat.
  • Mempunyai kemampuan dalam memberikan manfaat bagi masyarakat dengan pengembangan konsep pemecahan masalah secara integral, sistematis dan optimal.
Standar Kompetensi 1 : Penguasaan Bidang Ilmu dan Keahlian
Kompetensi :
  1. Menguasai konsep ilmu yang melandasi Pendidikan Luar Sekolah.
  2. Menguasai substansi bidang keahlian Pendidikan Luar Sekolah.
  3. Mampu mengaplikasikan substansi keilmuan dalam keahlian untuk memecahkan permasalahan pendidikan luar sekolah sesuai dengan konyeksnya.
  4. Mengembangkan keahlian Pendidikan Luar Sekolah.
Standar Kompetensi 2 : Penguasaan Tentang Peserta Didik.
Kompetensi :
  1. Mampu mengidentifikasi kebutuhan belajar peserta didik.
  2. Mengenai karakteristik potensi peserta didik.
  3. Mampu memanfaatkan lingkungan peserta didik.
  4. Menguasai cara dan gaya belajar peserta didik.
  5. Mampu membimbing pengembangan karir peserta didik.
Standar Kompetensi 3: Penguasaan Pengelolaan Satuan Pendidikan Luar Sekolah.
Kompetensi :
  1. Mampu merancang satuan pendidikan luar sekolah.
  2. Mampu membentuk satuan pendidikan luar sekolah.
  3. Mampu mengidentifikasikan sumber belajar.
  4. Mampu mengorganisir komponen satuan pendidikan luar sekolah.
  5. Mapu melaksanakan program satuan pendidikan luar sekolah.
  6. Mampu memonitor dan mengevaluasi program satuan pendidikan luar sekolah.
  7. Mampu mengembangkan inovasi-inovasi satuan program dan bentuk penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
Standar Kompetensi 4 : Penguasaan Pembelajaran Yang Mendidik.
Kompetensi :
  1. Mampu merancang pembelajaran yang mendidik.
  2. Mampu mengembangkan bahan ajar.
  3. Menguasai pendekatan, metode dan media pembelajaran.
  4. Mampu melaksanakan pembelajaran yang mendidik.
  5. Mampu melaksanakan evaluasi proses dan hasil belajar peserta didik.
  6. Mampu melaksanakan penelitian dalam ranga meningkatkan mutu pembelajaran.
  7. Mampu mengelola dan memanfaatkan laboratorium untuk memperkuat pengalaman belajar.
Standar Kompetensi 5 : Pengembangan Kepribadian dan Keprofesian.
Kompetensi :
  1. Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja.
  2. Mampu kerja mandiri dan mengadakan kemitraan.
  3. Menguasai pemanfaatan sumber-sumber baru untuk pengembangan keahlian.
  4. Memiliki komitmen terhadap profesi dan tugas profesional.
  5. Mampu meningkatkan diri dalam kinerja profesinya.
3. Kurikulum
Penerimaan mahasiswa baru pada setiap angkatan atau tahun ajaran baru yang dilakukan oleh Prodi PLS UNTIRTA membuat Prodi PLS selalu mengembangkan dan melakukan perubahan pada kurikulum yang akan diterapkan Prodi PLS UNTIRTA kepada mahasiswanya. Kurikulum yang digunakan Program Studi Pendidikan Luar Sekolah adalah Kurikulim Berbasis Kompetensi (KBK) yang berorientasi pada Perguruan Tinggi. Materi-materi pembelajaran yang harus dikuasai oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Luar Sekolah, antara lain :
Tabel 4.1 Kurikulum Prodi PLS
NO
KODE
MATA KULIAH
SKS
MPK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
MPK 101
MPK 102
MPK 103
MPK 107
MPK 109
MPK 201
MPK 109
Pendidikan Agama I
Pendidikan Agama II
Pendidikan Kewarganegaraan
Ilmu Alamiah Dasar
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Filsafat Ilmu
2
2
3
2
2
2
3
MKK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
PLS 102
PLS 201
PLS 104
PLS 103
PLS 205
PLS 107
PLS 209
PLS 206
PLS 311
PLS 208
PLS 213
PLS 315
PLS 110
PLS 317
PLS 212
PLS 219
PLS 214
PLS 321
PLS 316
PLS 118
PLS 123
Filsafat dan Teori PLS
Pengembangan Sosial dan Pembangunan Masyarakat.
Psikologi Sosial
Antropologi Sosial
Kepemimpinan dan Dinamika Kelompok
Sosiologi Pendidikan
Sosiologi Pembangunan
Perubahan Sosial
Komunikasi Sosial dan Pembangunan
Bimbingan dan Penyuluhan PLS
Analisis Kebutuhan dan Masalah Sosial
Perencanaan Program PLS
Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Manajemen Program PLS
Patologi Sosial
Pengantar Metodologi Penelitian
Penelitian Sosial
Orientasi Baru & Inovasi Pend
Analisa dan Evaluasi Program
Pendidikan Orang Dewasa
Pedagogika
3
3
3
2
3
3
3
2
2
2
3
3
2
3
3
2
2
2
3
3
3
NO
KODE
MATA KULIAH
SKS
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
PLS 320
PLS 325
PLS 327
PLS 322
PLS 429
PLS 431
PLS 233
PLS 424
Supervisi dan Monitoring PLS
Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
Kewirausahaan dan Ekonomi Kerakyatan
Social Marketing
Seminar PLS dan PM
Seminar Karya Ilmiah
Statistika
Skripsi
3
2
2
2
3
2
3
6
MKB
1.
2.
3.
4.
MKB 301
MKB 303
MKB 201
MKB 302
Perencanaan Pembelajaran PLS
Metodologi Penelitian Pend
Strategi dan Metode PLS
Evaluasi Hasil Pembelajaran PLS
3
3
3
3
MPB
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
MPB 301
MPB 103
MPB 202
MPB 104
MPB 206
MPB 308
MPB 210
Profesi Pendidik dan Kependidikan
Pengantar Pendidikan
Pengembangan Kurikulum PLS 
Psikologi Pendidikan dan Bimpesdik
Pengelolaan Pendidikan Pembinaan
Kompetensi Profesi PLS
Pengembangan Media Dan Sumber Belajar PLS
3
3
3
3
3
2
2
MBB
1.
2.
MBB 401
MBB 402
KKM
Program Latihan Profesi (PLP)
4
4
1.
2.
3.
4.
5.
PLS 326
PLS 328
PLS 435
PLS 437
PLS 439
Matakuliah Keahlian Pilihan
Konsentrasi Pelatihan
Konsep Dasar Pelatihan
Manajemen Kelembangaan dan Pembiayaan Pelatihan
Program dan Metode Pembelajaran dalam Pelatihan Manajemen dan Ketenagaan
Program dan Metode Pembelajaran dalam Pelatihan Kedinasan
Program dan Metode Pembelajaran Penyuluhan Masyarakat
2
2
4
4
4
1.
2.
3.
PLS 334
PLS 336
PLS 447
Konsentrasi Pemberdayaan Masyarakat
Konsep Dasar Pemberdayaan Masyarakat  Manajemen Kelembagaan & Pembiayaan Pembelajaran Masyarakat
Program & Metode Pembelajaran Dalam Koperasi dan UKM
2
2
3
NO
KODE
MATA KULIAH
SKS
4.
5.
6.
PLS 449
PLS 451
PLS 453
Program dan Metode Pembelajaran dalam Advokasi HAM dan EFA
Program & Metode Pembelajaran dalam Program Lingkungan Hidup
Program dan Metode Pembelajaran dalam Rehabilitasi Sosial
3
3
3
1.
2.
3.
4.
5.
PLS 330
PLS 332
PLS 441
PLS 443
PLS 445
Konsentrasi Pendidikan Dasar dan Berkelanjutan
Konsep Dasar Pendidikan Dasar & Berkelanjutan
Manajemen Kelembagaan & Pembiayaan
Pendidikan Dasar dan Berkelanjutan
Program & Metode Pembelajaran dalam Program Keaksaraan Fungsional
Program & Metode Pembelajaran dalam Program Kesetaraan
Program & Metode Pembelajaran dalam Program Life Skill
2
2
4
4
4
Jumlah SKS
146
1.2 KEKUATAN DALAM UU SISDIKNAS
Dilihat dari jabatannya, tenaga kependidikan ini dapat kita bedakan menjadi tiga jenis, yakni tenaga struktural, tenaga fungsional dan tenaga teknis penyelenggara pendidikan. Tenaga struktural merupakan tenaga kependidikan yang menempati jabatan-jabatan eksekutif umum (pimpinan) yang bertanggungjawab baik langsung maupun tidak langsung atas satuan pendidikan. Tenaga fungsional merupakan tenaga kependidikan yang menempati jabatan fungsional yakni jabatan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya mengandalkan keahlian akademis kependidikan. Sedangkan tenaga teknis kependidikan merupakan tenaga kependidikan yang dalam pelaksanaan pekerjaannya lebih dituntut kecakapan teknis operasional atau teknis administratif.
Semua jenis tenaga kependidikan yang disebut diatas, karena keterkaitan tanggungjawabnya baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi dan menentukan kondisi sekolah. Oleh karena itu, membicarakan mutu pendidikan, dilihat dari sistem pengelolaan tenaga kependidikan bukanlah semata-mata menyangkut urusan ketenagaan dan kemampuan guru. Masalah mutu pendidikan menyangkut pula kesuksesan pelaksanaan tugas tenaga kependidikan bukan guru, baik yang berada di sekolah maupun yang berada diluar sekolah. Semua jenis tenaga kependidikan bukan guru ini justru sepatutnya berperan sebagai partner kerja guru, sehingga mutu pendidikan disekolah dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
Menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu UUSPN NO.20 tahun 2003, khusus BAB I pasal 1 ayat (5) menyebutkan bahwa tenaga kependidikan itu adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, dan ayat (6) pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Pasal 39 ayat (1) selanjutnya menjelaskan bahwa tugas tenaga kependidikan itu adalah melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan. Dan ayat (2) menyebutkan bahwa pendidikan merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan, dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi.
Sebenarnya kelahiran UUSPN tidaklah secara otomatis dapat menjelaskan semua jenis tenaga kependidikan yang diperlukan yakni tenaga yang secara representatif dapat menuntaskan tugas kependidikan yang ada saat ini dan yang akan muncul dimasa mendatang yang justru ada pada setiap jenjang pendidikan dan yang ada pada setiap jenjang manajemen organisasi pendidikan nasional. Dalam hal ini UUSPN menjelaskan secara relatif terbatas (eksplisit) tentang jenis tenaga kependidikan; dan bukan menyangkut persyaratan dan tugas poko atau fungsi yang harus diemban mereka. Artinya untuk beberapa jenis tenaga kependidikan lainnya tidaklah dikemukakan secara eksplisit, sehingga di masa yang akan datang pengenalan masyarakat atas keberadaan berbagai jenis tenaga kependidikan ini, akan semakin berkembang karena memang desakan kebutuhan itu sendiri.
Khusus yang disebutkan tenaga pendidikan, pasal 39 ayat 2 dapat dipahami bahwa tenaga pendidik yang dimaksud adalah:
·        Tenaga pengajar yang bertugas utamanya mengajar; yang pada jenjang pendidikan dasar dan menengah disebut guru dan jenjang pendidikan tinggi disebut dosen.
·        Tenaga pembimbing yang dikenal pula di sekolah sebagai penyuluh pendidikan atau dewasa ini lebih tepat disebut guru BP (bimbingan dan penyuluhan); dan
·        Tenaga pelatihan/pamong/widyaiswara/tutor/instruktur/fasilitator yang oleh sebagian pihak ditempatkan sebagai teknisi seperti pelatih olahraga, kesenian, keterampilan. Akan tetapi adapula yang menempatkan tenaga pelatih ini sebagai tenaga fungsional yang memang termasuk kategori fungsional yang memang termasuk kategori professional. Alasannya adalah karena mereka itu adalah pendidik dan pendidik senantiasa diperjuangkan sebagai seorang professional.
UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL, BAB I, KETENTUAN UMUM Pasal 1
Point 12-16
12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
13.  Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
14.  Pendidikaanak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15.  Pendidikan  jarak  jauh  adalah  pendidikan  yang  peserta  didiknya  terpisah  dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
16.  Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan  pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
1.3 CIRI CIRI PROFESI
Menurut sanusi ciri ciri profesi dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu:
1.      Segi fungsi dan signifikan sosial; suatu profesi merupakan pekerjaan yang memiliki fungsi sosial yang penting
2.      Segi keahlian dan keterampilan; untuk mewujudkan fungsi tersebut dituntut derajat keahlian dan keterampilan tertentu
3.      Memperoleh keahlian dan keterampilan yang dilakukan secara rutin, serta bersifat pemecahan masalahatu menangani situasi kitis melalui teori dan metode ilmiah
4.      Batang tubuh ilmu; artinya profesi didasarkan kepada suatu disiplin ilmu yang jelas, sistematis dan eksplisit.
5.      Masa pendidikan; upaya menguasai dan menguasai batang tubuh ilmu dengan keahlian atau keterampilan tersebut membutuhkan masa latihan yang lama dan dilakukan di tingkat perguruan tinggi.
6.      Aplikasi dan sosialisasi nilai nilai profesional; proses pendidikan tersebut merupakan wahana untuk sosialisasi nilai profesional
7.      Kode etik tertentu yang memberikan pelayanan kepada masyarakat
8.      Wewenang/ kekuasaan untuk memberi suatu judgement/ pendapat/ putusan.
9.      Tanggung jawab profesional atau otonomi
10.  Pengakuan dan imbalan: sebagai imbalan dari pendidikan dan latihan lama, dan jasa yang diberikan kepada masyarakat, maka seorang pekerja profesional mempunyai prastise yang tinggi  
1.4 KOMPETENSI LULUSAN YANG DIEMBAN OLEH MAHASISWA
Mahasiswa adalah kelompok masyarakat yang sedang menekuni bidang ilmu tertentu dalam lembaga pendidikan formal dan menekuni berbagai bidang tersebut di suatu tempat yang di namakan universitas. Kelompok ini sering juga disebut sebagai “Golongan intelektual muda” yang penuh bakat dan potensi. Disamping itu mahasiswa juga semestinya mempunyai perilaku yang patut menjadi teladan para adik – adiknya yang masih duduk di bangku sekolah. Namun posisi yang demikian ini sudah barang tentu bersifat sementara karena kelak di kemudian hari mereka tidak lagi mahasiswa dan mereka justru menjadi pelaku-pelaku intim dalam kehidupan suatu negara atau masyarakat.
Namun yang menjadi pembahasannya sekarang adalah Hakikat kita sebagai mahasiswa yang semestinya mempunyai bakat dan potensi untuk membangun Bangsa dan Negara ini. Dalam hal makna, arti mahasiswa bukanlah posisi strata pendidikan yang dilakukan setelah lulus SMA. Namun ketika menginginkan makna ini agar jelas ada empat peran yang dimiliki mahasiswa yakni sebagai agen perubahan, kekuatan moral, kontrol sosial, dan cadangan potensial.
Sebagai agen perubahan, mahasiswa dituntut bersifat kritis. Diperlukan implementasi yang nyata. Contoh konkret implementasi tersebut adalah perjuangan mahasiswa di tahun 1998 dalam mengumandangkan reformasi. Perubahan yang terjadi sebagai efek dari perjuangan mahasiswa masa itu sangatlah besar baik bagi kinerja pemerintahan, control kerja pemerintahan, kondisi perekonomian bangsa, sistem pendidikan yang diterapkan, serta hal-hal lain yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Harapan besar ditujukan pada para pemuda. Pemuda yang dimaksud adalah para mahasiswa. Dalam posisi ini, mahasiswa adalah aset yang sangat berharga. Harapan tinggi suatu bangsa terhadap mahasiswa adalah menjadi generasi penerus yang memiliki loyalitas tinggi terhadap kemajuan bangsa.
Sebagai kekuatan moral, masyarakat akan memandang tingkah laku, perkataan, cara berpakaian, cara bersikap, dan sebagainya yang berhubungan dengan moral sebagai acuan dasar mereka dalam berperilaku. Disinilah mahasiswa harus di tuntut ke intelektualannya dalam kekuatan moralnya di masyarakat.
Sebagai kontrol sosial, Masyarakat adalah sekumpulan populasi dengan beragam karakter. Banyak sekali aspek sosial yang harus dipenuhi agar tidak terjadi ketimpangan yang rentan memicu konflik. Jika kondisinya berlawanan, maka dapat dipastikan adanya konflik kecil yang bisa timbul di mahasiswa maupun masyarakat. Di sinilah peran mahasiswa. Kontrol dari kondisi – kondisi sosial merupakan implementasi nyata mahasiswa untuk bersinggungan langsung dengan masyarakat. Memanfaatkan media sangat atraktif bila diterapkan. Jika menyadari peran dalam masyarakat sewajarnya mahasiswa menjadi harapan masyarakat dan bukan sekadar penganut hedonistik.
Sebagai cadangan potensial, sebagaimana pengertian mahasiswa sendiri yang berarti suatu kelompok yang sedang menekuni bidang ilmu tertentu
Edward Shill memberikan 5 Fungsi bagi kaum intelektual yang biasa diberikan kepada mahasiswa, yaitu :
1.                  Menciptakan dan menyebarluaskan kebudayaan tinggi
2.                  menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa
3.                  membina keberdayaan dan kebersamaan
4.                  mempengaruhi perubahan sosial, dan
5.                  memainkan peran politik

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Tweet Me

Popular Post

Blogger templates

http://www.paudni.kemdikbud.go.id/
Diberdayakan oleh Blogger.

Banner1

- Copyright © DIFUSI INOVASI -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -