Kebijakan
pembangunan Kementrian pendidikan nasional diarahkan untuk mewujudkan
pendidikan yang berkeadilan, bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dalam penyelenggaraan pendidikan nasional
bertumpu pada 5 prinsip; 1) Ketersediaan berbagai program layanan pendidikan;
2) Biaya pendidikan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat; 3) Semakin
berkualitasnya setiap jenis dan jenjang pendidikan; 4) Tanpa adanya perbedaan
layanan pendidikan ditinjau dari berbagai segi; dan 5) Jaminan lulusan untuk
melanjutkan dan keselarasan dengan dunia kerja.
Selain itu Direkatorat Jenderal
Pendidikan Nonformal dan Informal merintis program Pendidikan Kewirausahaan
Masyarakat (PKM). Misi dan tujuan dari pendidikan ini adalah memberikan bekal pendidikan yang
bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakat sehingga setiap lulusan
pendidikan nonformal dapat masuk di dunia kerja dan atau menciptakan lapangan
kerja baru, menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang kreatif dan inovatif
sehingga mampu memberdayakan potensi lokal untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
Atas
dasar pertimbangan tersebut, ada beberapa permasalahan yang telah menghambat
para lulusan PLS dalam memberikan pelayanan bidang PNF, baik program-program
professional yang sepenuhnya menjadi tanggungjawab masyarakat, program-program
insiatif Pemerintah, maupun program-program inisiatif internasional. Permasalahan
yang paling tampak yaitu sarjana program studi PLS tidak sepenuhnya
diorientasikan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan itu berlaku bagi
semua program studi baik kependidikian maupun non-kependidikan. Dalam
kenyataan, masih banyak institusi PNFI yang membutuhkan PNS yang membidangi PLS
untuk menangani program-program PLS milik pemerintah, seperti Sanggar Kegiatan
Belajar (SKB) tingkat Kabupaten/Kota (350 lembaga), Balai Pengembangan Kegiatan
Belajar (BPKB) tingkat provinsi (33 lembaga), Kabid atau Kasubdin PLS tingkat
kabupaten/kota dan provinsi (500 lembaga), BP-PNFI (6 lembaga), P2PNFI (2
lembaga), penilik (5000 lembaga), serta pekerja lapangan yang selama ini telah
bekerja untuk pelayanan PNF (5000 orang). Namun, dalam beberapa tahun terakhir
para lulusan Sarjana Progran Studi PLS seolah tidak memiliki peluang untuk
diangkat menjadi CPNS karena formasinya tidak disediakan oleh Pemerintah (setidaknya
yang dikatakan oleh beberapa Badan Kepegawaian Daerah atau BKD Kab/Kota).
Yang menjadi keprihatinan, peluang untuk
menjadi CPNS di berbagai institusi PNFI milik pemerintah tersebut justru diisi
oleh sarjana non-PLS, sedangkan kesempatan sarjana PLS untuk menjadi guru/pamong belajar seolah tertutup.
Bapak Menteri yang terhormat, mungkin inilah yang sering disebut dengan gejala
irrelevansi pendidikan yang sengaja diciptakan (a by designed irrelevant education).
Terdorong oleh kebijakan Menteri Pendidikan
Nasional yang ingin meningkatkan kesesuaian pendidikan dengan pekerjaan, maka
Jabatan-jabatan fungsional PLS yang diisi oleh lulusan program studi lain
justru menjadi kontra produktif dengan kebijakan Bapak tersebut. Masalah ini
benar-benar terjadi di lapangan; jabatan struktural, seperti eselon IV, III,
penilik PLS, serta Pamong belajar jabatan fungsional lainnya justru sebagian
besar diisi oleh lulusan sarjana di luar bidang
PNFI, misalnya, jabatan penilik PLS dan Pamong Belajar sebagai PNS pada
Pendidikan Non Formal dan Informal justru sebagian besar dipegang oleh oleh
tenaga pendidik guru sekolah formal. Padahal para lulusan Program Studi PLS
secara by design dibentuk untuk
memiliki kualifikasi yang sesuai dengan persyaratan jabatan yang dimaksud.
Masih ada BKD Kabupaten/Kota/Provinsi
yang mempermasalahkan Program Studi
PLS di perguruan tinggi dengan menolak sarjana program studi PLS mendaftar
untuk menjadi CPNS dengan dalih tidak ada formasi, padahal formasi itu lahir
dari usulan dinas pendidikan atau SKPD Kabupaten/Kota. Hal ini sangat
menyakitkan dan mengusik rasa kemanusiaan dan jika keadaan ini dibiarkan terus
berlangsung, bukan hanya telah menghambat pelayanan pendidikan bagi penduduk
yang kurang beruntung, tetapi juga tidak sejalan dengan kebijakan Mendiknas
yang telah memberikan perhatian yang sama untuk setiap jalur pendidikan karena
setiap jalur pendidikan memang bekerja pada segmen masyarakat yang berlainan
dan belum terpayungi oleh UU Guru dan Dosen no 14 tahun 2005, UU sisdiknas No
20 tahun 2003. Serta PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Hal ini paradoks dengan “menghilangnya”
formasi PNS untuk sarjana program studi PLS yang terjadi pada beberapa tahun
terakhir ini. Kami menghawatirkan akan adanya sebuah upaya sistematis terhadap
“pengerdilan” profesi PLS dalam waktu yang mungkin tidak akan lama lagi.
Hal yang perlu diperhatikan bahwa setiap
tahun 26 universitas di Indonesia memproduksi lulusan S1 PLS yang diharapkan
mampu untuk melayani dan menyelenggarakan PNF. Hal ini layak untuk diberikan
perhatian melihat keadaan yang terjadi dilapangan apakah lulusan PLS bekerja
sesuai dengan kompetensinya atau terabaikan begitu saja dan beralih PROFESI
karena kebutuhan hidup. Dalam pandangan yang sempit timbul pertanyaan yang
cukup menyiksa para penggemar dunia PLS “apakah
pls harus dihapus karena sudah tidak dibutuhkan?”
Dari semua permasalahan yang telah
dipaparkan, kami IMADIKLUS indonesia terdorong untuk melakukan penelitian
mengenai penelusuran lulusan S1 PLS dengan kesesuaian kompetensi dalam dunia
kerja
1.
KERANGKA TEORITIS
1.1
KOMPETENSI LULUSAN S1 PLS
Kompetensi
lulusan S1 PLS sangat lah beragam dan setiap universitas di Indonesia yang
memproduksi lulusan S1 PLS memiliki visi dan misi yang berbeda tetapi secara
umum tetaplah sama. Untuk itu secara umum akan dipaparkan salah satu kompetensi
Lulusan S1 PLS dari UNTIRTA banten sebagai gambaran umum kompetensi lulusan S1
PLS, yaitu sebagai berikut:
. Visi, Misi dan Tujuan
- Menghasilkan lulusan Pendidikan Luar Sekolah FKIP UNTIRTA yang berkualitas, ber-etika, berakhlak mulia dan berkompetitif.
- Menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam keilmuan Pendidikan Luar Sekolah yang berbasis Masyarakat.
- Mempunyai kemampuan dalam memberikan manfaat bagi masyarakat dengan pengembangan konsep pemecahan masalah secara integral, sistematis dan optimal.
Standar
Kompetensi 1 : Penguasaan Bidang Ilmu dan Keahlian
Kompetensi
:
- Menguasai konsep ilmu yang melandasi Pendidikan Luar Sekolah.
- Menguasai substansi bidang keahlian Pendidikan Luar Sekolah.
- Mampu mengaplikasikan substansi keilmuan dalam keahlian untuk memecahkan permasalahan pendidikan luar sekolah sesuai dengan konyeksnya.
- Mengembangkan keahlian Pendidikan Luar Sekolah.
Standar
Kompetensi 2 : Penguasaan Tentang Peserta Didik.
Kompetensi
:
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan belajar peserta didik.
- Mengenai karakteristik potensi peserta didik.
- Mampu memanfaatkan lingkungan peserta didik.
- Menguasai cara dan gaya belajar peserta didik.
- Mampu membimbing pengembangan karir peserta didik.
Standar
Kompetensi 3: Penguasaan Pengelolaan Satuan Pendidikan Luar Sekolah.
Kompetensi
:
- Mampu merancang satuan pendidikan luar sekolah.
- Mampu membentuk satuan pendidikan luar sekolah.
- Mampu mengidentifikasikan sumber belajar.
- Mampu mengorganisir komponen satuan pendidikan luar sekolah.
- Mapu melaksanakan program satuan pendidikan luar sekolah.
- Mampu memonitor dan mengevaluasi program satuan pendidikan luar sekolah.
- Mampu mengembangkan inovasi-inovasi satuan program dan bentuk penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
Standar
Kompetensi 4 : Penguasaan Pembelajaran Yang Mendidik.
Kompetensi
:
- Mampu merancang pembelajaran yang mendidik.
- Mampu mengembangkan bahan ajar.
- Menguasai pendekatan, metode dan media pembelajaran.
- Mampu melaksanakan pembelajaran yang mendidik.
- Mampu melaksanakan evaluasi proses dan hasil belajar peserta didik.
- Mampu melaksanakan penelitian dalam ranga meningkatkan mutu pembelajaran.
- Mampu mengelola dan memanfaatkan laboratorium untuk memperkuat pengalaman belajar.
Standar
Kompetensi 5 : Pengembangan Kepribadian dan Keprofesian.
Kompetensi
:
- Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja.
- Mampu kerja mandiri dan mengadakan kemitraan.
- Menguasai pemanfaatan sumber-sumber baru untuk pengembangan keahlian.
- Memiliki komitmen terhadap profesi dan tugas profesional.
- Mampu meningkatkan diri dalam kinerja profesinya.
3. Kurikulum
Penerimaan mahasiswa baru
pada setiap angkatan atau tahun ajaran baru yang dilakukan oleh Prodi PLS
UNTIRTA membuat Prodi PLS selalu mengembangkan dan melakukan perubahan pada
kurikulum yang akan diterapkan Prodi PLS UNTIRTA kepada mahasiswanya. Kurikulum
yang digunakan Program Studi Pendidikan Luar Sekolah adalah Kurikulim Berbasis
Kompetensi (KBK) yang berorientasi pada Perguruan Tinggi. Materi-materi
pembelajaran yang harus dikuasai oleh mahasiswa Program Studi Pendidikan Luar
Sekolah, antara lain :
Tabel 4.1 Kurikulum Prodi PLS
NO
|
KODE
|
MATA
KULIAH
|
SKS
|
MPK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
|
MPK 101
MPK 102
MPK 103
MPK 107
MPK 109
MPK 201
MPK 109
|
Pendidikan Agama I
Pendidikan Agama II
Pendidikan Kewarganegaraan
Ilmu Alamiah Dasar
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Filsafat Ilmu
|
2
2
3
2
2
2
3
|
MKK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
|
PLS 102
PLS 201
PLS 104
PLS 103
PLS 205
PLS 107
PLS 209
PLS 206
PLS 311
PLS 208
PLS 213
PLS 315
PLS 110
PLS 317
PLS 212
PLS 219
PLS 214
PLS 321
PLS 316
PLS 118
PLS 123
|
Filsafat dan Teori PLS
Pengembangan Sosial dan Pembangunan
Masyarakat.
Psikologi Sosial
Antropologi Sosial
Kepemimpinan dan Dinamika Kelompok
Sosiologi Pendidikan
Sosiologi Pembangunan
Perubahan Sosial
Komunikasi Sosial dan Pembangunan
Bimbingan dan Penyuluhan PLS
Analisis Kebutuhan dan Masalah Sosial
Perencanaan Program PLS
Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Manajemen Program PLS
Patologi Sosial
Pengantar Metodologi Penelitian
Penelitian Sosial
Orientasi Baru & Inovasi Pend
Analisa dan Evaluasi Program
Pendidikan Orang Dewasa
Pedagogika
|
3
3
3
2
3
3
3
2
2
2
3
3
2
3
3
2
2
2
3
3
3
|
NO
|
KODE
|
MATA
KULIAH
|
SKS
|
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
|
PLS 320
PLS 325
PLS 327
PLS 322
PLS 429
PLS 431
PLS 233
PLS 424
|
Supervisi dan Monitoring PLS
Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan
Kewirausahaan dan Ekonomi Kerakyatan
Social Marketing
Seminar PLS dan PM
Seminar Karya Ilmiah
Statistika
Skripsi
|
3
2
2
2
3
2
3
6
|
MKB
1.
2.
3.
4.
|
MKB 301
MKB 303
MKB 201
MKB 302
|
Perencanaan Pembelajaran PLS
Metodologi Penelitian Pend
Strategi dan Metode PLS
Evaluasi Hasil Pembelajaran PLS
|
3
3
3
3
|
MPB
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
|
MPB 301
MPB 103
MPB 202
MPB 104
MPB 206
MPB 308
MPB 210
|
Profesi Pendidik dan Kependidikan
Pengantar Pendidikan
Pengembangan Kurikulum PLS
Psikologi Pendidikan dan Bimpesdik
Pengelolaan Pendidikan Pembinaan
Kompetensi Profesi PLS
Pengembangan Media Dan Sumber Belajar PLS
|
3
3
3
3
3
2
2
|
MBB
1.
2.
|
MBB 401
MBB 402
|
KKM
Program Latihan Profesi (PLP)
|
4
4
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
PLS 326
PLS 328
PLS 435
PLS 437
PLS 439
|
Matakuliah
Keahlian Pilihan
Konsentrasi
Pelatihan
Konsep Dasar Pelatihan
Manajemen Kelembangaan dan Pembiayaan
Pelatihan
Program dan Metode Pembelajaran dalam Pelatihan
Manajemen dan Ketenagaan
Program dan Metode Pembelajaran dalam
Pelatihan Kedinasan
Program dan Metode Pembelajaran Penyuluhan
Masyarakat
|
2
2
4
4
4
|
1.
2.
3.
|
PLS 334
PLS 336
PLS 447
|
Konsentrasi
Pemberdayaan Masyarakat
Konsep Dasar Pemberdayaan Masyarakat Manajemen Kelembagaan & Pembiayaan
Pembelajaran Masyarakat
Program & Metode Pembelajaran Dalam
Koperasi dan UKM
|
2
2
3
|
NO
|
KODE
|
MATA
KULIAH
|
SKS
|
4.
5.
6.
|
PLS 449
PLS 451
PLS 453
|
Program dan Metode Pembelajaran dalam
Advokasi HAM dan EFA
Program & Metode Pembelajaran dalam
Program Lingkungan Hidup
Program dan Metode Pembelajaran dalam
Rehabilitasi Sosial
|
3
3
3
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
PLS 330
PLS 332
PLS 441
PLS 443
PLS 445
|
Konsentrasi Pendidikan
Dasar dan Berkelanjutan
Konsep Dasar Pendidikan Dasar &
Berkelanjutan
Manajemen Kelembagaan & Pembiayaan
Pendidikan Dasar dan Berkelanjutan
Program & Metode Pembelajaran dalam
Program Keaksaraan Fungsional
Program & Metode Pembelajaran dalam
Program Kesetaraan
Program & Metode Pembelajaran dalam
Program Life Skill
|
2
2
4
4
4
|
Jumlah SKS
|
146
|
1.2
KEKUATAN DALAM UU SISDIKNAS
Dilihat dari jabatannya, tenaga
kependidikan ini dapat kita bedakan menjadi tiga jenis, yakni tenaga
struktural, tenaga fungsional dan tenaga teknis penyelenggara pendidikan.
Tenaga struktural merupakan tenaga kependidikan yang menempati jabatan-jabatan
eksekutif umum (pimpinan) yang bertanggungjawab baik langsung maupun tidak
langsung atas satuan pendidikan. Tenaga fungsional merupakan tenaga
kependidikan yang menempati jabatan fungsional yakni jabatan yang dalam
pelaksanaan pekerjaannya mengandalkan keahlian akademis kependidikan. Sedangkan
tenaga teknis kependidikan merupakan tenaga kependidikan yang dalam pelaksanaan
pekerjaannya lebih dituntut kecakapan teknis operasional atau teknis
administratif.
Semua jenis tenaga kependidikan yang
disebut diatas, karena keterkaitan tanggungjawabnya baik secara langsung maupun
tidak langsung mempengaruhi dan menentukan kondisi sekolah. Oleh karena itu,
membicarakan mutu pendidikan, dilihat dari sistem pengelolaan tenaga
kependidikan bukanlah semata-mata menyangkut urusan ketenagaan dan kemampuan
guru. Masalah mutu pendidikan menyangkut pula kesuksesan pelaksanaan tugas
tenaga kependidikan bukan guru, baik yang berada di sekolah maupun yang berada
diluar sekolah. Semua jenis tenaga kependidikan bukan guru ini justru
sepatutnya berperan sebagai partner kerja guru, sehingga mutu pendidikan
disekolah dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
Menurut perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia, yaitu UUSPN NO.20 tahun 2003, khusus BAB I pasal 1 ayat (5)
menyebutkan bahwa tenaga kependidikan itu adalah anggota masyarakat yang
mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, dan
ayat (6) pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,
dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,
dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan. Pasal 39 ayat (1) selanjutnya menjelaskan bahwa
tugas tenaga kependidikan itu adalah melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses
pendidikan pada satuan pendidikan. Dan ayat (2) menyebutkan bahwa pendidikan
merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan, dan melaksanakan
proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan
pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
terutama bagi pendidikan pada perguruan tinggi.
Sebenarnya kelahiran UUSPN tidaklah
secara otomatis dapat menjelaskan semua jenis tenaga kependidikan yang
diperlukan yakni tenaga yang secara representatif dapat menuntaskan tugas
kependidikan yang ada saat ini dan yang akan muncul dimasa mendatang yang
justru ada pada setiap jenjang pendidikan dan yang ada pada setiap jenjang
manajemen organisasi pendidikan nasional. Dalam hal ini UUSPN menjelaskan
secara relatif terbatas (eksplisit) tentang jenis tenaga kependidikan; dan
bukan menyangkut persyaratan dan tugas poko atau fungsi yang harus diemban
mereka. Artinya untuk beberapa jenis tenaga kependidikan lainnya tidaklah
dikemukakan secara eksplisit, sehingga di masa yang akan datang pengenalan
masyarakat atas keberadaan berbagai jenis tenaga kependidikan ini, akan semakin
berkembang karena memang desakan kebutuhan itu sendiri.
Khusus yang disebutkan tenaga
pendidikan, pasal 39 ayat 2 dapat dipahami bahwa tenaga pendidik yang dimaksud
adalah:
·
Tenaga pengajar
yang bertugas utamanya mengajar; yang pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah disebut guru dan jenjang pendidikan tinggi disebut dosen.
·
Tenaga
pembimbing yang dikenal pula di sekolah sebagai penyuluh pendidikan atau dewasa
ini lebih tepat disebut guru BP (bimbingan dan penyuluhan); dan
·
Tenaga
pelatihan/pamong/widyaiswara/tutor/instruktur/fasilitator yang oleh sebagian
pihak ditempatkan sebagai teknisi seperti pelatih olahraga, kesenian,
keterampilan. Akan tetapi adapula yang menempatkan tenaga pelatih ini sebagai
tenaga fungsional yang memang termasuk kategori fungsional yang memang termasuk
kategori professional. Alasannya adalah karena mereka itu adalah pendidik dan
pendidik senantiasa diperjuangkan sebagai seorang professional.
UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL, BAB I, KETENTUAN UMUM Pasal 1
Point 12-16
12.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
13. Pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga
dan lingkungan.
14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak
sejak lahir sampai dengan usia
enam
tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
15. Pendidikan
jarak jauh
adalah pendidikan
yang peserta
didiknya terpisah
dari pendidik dan
pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.
16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan
pendidikan
berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan
potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
1.3
CIRI CIRI PROFESI
Menurut sanusi ciri ciri profesi
dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu:
1. Segi
fungsi dan signifikan sosial; suatu profesi merupakan pekerjaan yang memiliki
fungsi sosial yang penting
2. Segi
keahlian dan keterampilan; untuk mewujudkan fungsi tersebut dituntut derajat
keahlian dan keterampilan tertentu
3. Memperoleh
keahlian dan keterampilan yang dilakukan secara rutin, serta bersifat pemecahan
masalahatu menangani situasi kitis melalui teori dan metode ilmiah
4. Batang
tubuh ilmu; artinya profesi didasarkan kepada suatu disiplin ilmu yang jelas,
sistematis dan eksplisit.
5. Masa
pendidikan; upaya menguasai dan menguasai batang tubuh ilmu dengan keahlian
atau keterampilan tersebut membutuhkan masa latihan yang lama dan dilakukan di
tingkat perguruan tinggi.
6. Aplikasi
dan sosialisasi nilai nilai profesional; proses pendidikan tersebut merupakan
wahana untuk sosialisasi nilai profesional
7. Kode
etik tertentu yang memberikan pelayanan kepada masyarakat
8. Wewenang/
kekuasaan untuk memberi suatu judgement/ pendapat/ putusan.
9. Tanggung
jawab profesional atau otonomi
10. Pengakuan
dan imbalan: sebagai imbalan dari pendidikan dan latihan lama, dan jasa yang
diberikan kepada masyarakat, maka seorang pekerja profesional mempunyai
prastise yang tinggi
1.4
KOMPETENSI LULUSAN YANG DIEMBAN OLEH MAHASISWA
Mahasiswa
adalah kelompok masyarakat yang sedang menekuni bidang ilmu tertentu dalam
lembaga pendidikan formal dan menekuni berbagai bidang tersebut di suatu tempat
yang di namakan universitas. Kelompok ini sering juga disebut sebagai “Golongan
intelektual muda” yang penuh bakat dan potensi. Disamping itu mahasiswa juga
semestinya mempunyai perilaku yang patut menjadi teladan para adik – adiknya
yang masih duduk di bangku sekolah. Namun posisi yang demikian ini sudah barang
tentu bersifat sementara karena kelak di kemudian hari mereka tidak lagi
mahasiswa dan mereka justru menjadi pelaku-pelaku intim dalam kehidupan suatu
negara atau masyarakat.
Namun
yang menjadi pembahasannya sekarang adalah Hakikat kita sebagai mahasiswa yang
semestinya mempunyai bakat dan potensi untuk membangun Bangsa dan Negara ini.
Dalam hal makna, arti mahasiswa bukanlah posisi strata pendidikan yang
dilakukan setelah lulus SMA. Namun ketika menginginkan makna ini agar jelas ada
empat peran yang dimiliki mahasiswa yakni sebagai agen perubahan, kekuatan
moral, kontrol sosial, dan cadangan potensial.
Sebagai
agen perubahan, mahasiswa dituntut bersifat kritis. Diperlukan implementasi
yang nyata. Contoh konkret implementasi tersebut adalah perjuangan mahasiswa di
tahun 1998 dalam mengumandangkan reformasi. Perubahan yang terjadi sebagai efek
dari perjuangan mahasiswa masa itu sangatlah besar baik bagi kinerja
pemerintahan, control kerja pemerintahan, kondisi perekonomian bangsa, sistem
pendidikan yang diterapkan, serta hal-hal lain yang berhubungan langsung dengan
masyarakat. Harapan besar ditujukan pada para pemuda. Pemuda yang dimaksud
adalah para mahasiswa. Dalam posisi ini, mahasiswa adalah aset yang sangat
berharga. Harapan tinggi suatu bangsa terhadap mahasiswa adalah menjadi
generasi penerus yang memiliki loyalitas tinggi terhadap kemajuan bangsa.
Sebagai
kekuatan moral, masyarakat akan memandang tingkah laku, perkataan, cara
berpakaian, cara bersikap, dan sebagainya yang berhubungan dengan moral sebagai
acuan dasar mereka dalam berperilaku. Disinilah mahasiswa harus di tuntut ke
intelektualannya dalam kekuatan moralnya di masyarakat.
Sebagai
kontrol sosial, Masyarakat adalah sekumpulan populasi dengan beragam karakter.
Banyak sekali aspek sosial yang harus dipenuhi agar tidak terjadi ketimpangan
yang rentan memicu konflik. Jika kondisinya berlawanan, maka dapat dipastikan
adanya konflik kecil yang bisa timbul di mahasiswa maupun masyarakat. Di
sinilah peran mahasiswa. Kontrol dari kondisi – kondisi sosial merupakan
implementasi nyata mahasiswa untuk bersinggungan langsung dengan masyarakat.
Memanfaatkan media sangat atraktif bila diterapkan. Jika menyadari peran dalam
masyarakat sewajarnya mahasiswa menjadi harapan masyarakat dan bukan sekadar
penganut hedonistik.
Sebagai
cadangan potensial, sebagaimana pengertian mahasiswa sendiri yang berarti suatu
kelompok yang sedang menekuni bidang ilmu tertentu
Edward Shill memberikan 5 Fungsi bagi kaum
intelektual yang biasa diberikan kepada mahasiswa, yaitu :
1.
Menciptakan
dan menyebarluaskan kebudayaan tinggi
2.
menyediakan
bagan-bagan nasional dan antar bangsa
3.
membina
keberdayaan dan kebersamaan
4.
mempengaruhi
perubahan sosial, dan
5.
memainkan
peran politik